Selamat Datang, Aryasatya 56!
Hari ini, tepat tanggal 14 Agustus 2018 adalah hari PRAMUKA (Praja Muda Karana) Nasional dan bertepatan dengan hari pertama penyelenggaran PK2MABA di kampus yang amat kucinta, yang dilaksanakan oleh Raja Brawijaya.
Malang bila sedang didatangi mahasiswa baru (maba) memang akan terlihat berbeda. Tampak dari jalanan Suhat yang macet parah parah parah, kanan ataupun kiri jalan. Jalanan dipenuhi kendaraan dan pejalan kaki yang tidak terhitung jumlahnya. Apalagi sejak pindah haluan ke daerah Suhat, akses jalan yang aku lalui bila hendak ke kampus memang menjadi sedikit lebih jauh dan melelahkan. Untungnya, kedatangan maba membuat suhu di kota Malang sedikit lebih bersahabat, menjadi lebih hangat.
Pagi ini seorang temanku menghadapi sidang komprehensif yang membuatku harus ke kampus di jam yang ekstrim untuk bangun pagi. Dalam perjalanan, tampak adek-adek gemes berpakaian putih-hitam yang lipatan setrikanya masih sangat jelas, ditambah Jas Almamater lengkap dengan atribut dasi dan topi Brawijaya. Serta tidak lupa sepatu pantofel hitam yang kinclong karena masih baru. Pemandangan ini membuatku bernostalgia pada kejadian September 2014 lalu. Tepat ketika aku yang mengenakan atribut yang sama, masa menjadi seorang Punggawa 52.
Hari itu adalah hari yang menyenangkan dan juga menguras tenaga. Kenapa? Karena itu adalah hari bersejarah, penobatan resmi menjadi mahasiswa dan sekaligus melelahkan karena tidak tidur semalaman akibat begadang mengerjakan tugas untuk ospek yang sangat banyak. Walau setelah satu semester menjadi mahasiswa, aku menyadari bahwa semua tugas itu akan berujung ditempat penjualan barang bekas.
Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, Raja Brawijaya memang selalu berusaha untuk menghadirkan berbagai perubahan, dan inovasi yang terlihat berwarna, kreatif dan baru! Mereka berupaya menciptakan suasana yang baik untuk menyambut anggota keluarganya yang baru saja datang. Namun sebenarnya disadari atau tidak, beberapa hal yang diajarkan pada saat kegiatan pengenalan kampus ini berada pada ranah yang kurang tepat. Dan hal tersebut selalu ada. Seperti sudah menjadi sebuah tradisi yang tidak bisa dihilangkan. Tetapi tidak tahu juga, mungkin hal tersebut sudah lumrah di negara ini.
Misalnya memberi tugas dan atribut yang tidak masuk akal. Arahan, dan instruksi dengan suara keras kuat, yang bagiku itu sudah seperti sebuah bentakan. Menuliskan tagline 'jaga kelestarian bumi' dengan cara menghabiskan berpuluh-puluh kilo kertas. Entah esensi yang bagaimana yang ingin diajarkan. Menyisipkan kalimat-kalimat yang memiliki arti ambigu ketika sedang berbicara. Pardon if I'm wrong. Namun beberapa orang seperti membenarkan dan mengatakan bahwa hal tersebut merupakan salah satu cara untuk pembentukan karakter, dan rasa solidaritas. Seperti tidak ada cara yang lebih patun dan nyaman untuk dicontoh.
Kehidupan kampus memang berat. Tetapi hal yang seharusnya diberitahu adalah bagaimana upaya untuk beradaptasi, bertahan dan menyeimbangkan hal-hal ditengah atmosfer yang sangat berbeda dari jenjang sebelum perkuliahan (SMA), bukan malah memberi tekanan bertubi-tubi seolah kesan buruk diawal pertemuan. Seorang bayi dibimbing supaya bisa berjalan, bukan memberi penghakiman kenapa belum bisa berjalan dengan kaki sendiri. Mungkin benar, hal seperti ini memang sudah dianggap lumrah. Perubahan itu pasti, tetapi berubah untuk menjadi baik adalah pilihan.
Kampus tetap akan menjadi sebuah kampus dengan tradisi, sistem dan peraturannya. Apalah daya, yang tertulis disini hanyalah sebuah opini dari mahasiswa bodoh yang baru saja lulus.
Selamat datang Asyasatya 56, jiwa baru yang berpijak di bumi Brawijaya. Semoga harimu selalu menyenangkan. Dan apa yang kamu ekspektasikan tentang bagaimana menjadi mahasiswa dan kehidupan kampusnya, sesuai dengan apa yang kamu dapatkan disini.
Komentar
Posting Komentar