Its almost Christmas, But I’ve prepared nothing
Kemarin, salah
seorang temanku membeli sebuah buku karangan Tere Liye, yaitu Eliana. Buku ini
merupakan salah satu dari rangkaian buku serial yang dinamainya “Serial anak-anak
mamak” bersama dengan dua buku lainnya, yakni Pukat dan Burlian. Eliana, Pukat,
Burlian dan satu lagi Amelia adalah nama 4 orang anak dari seorang Ibu yang
diceritakan dalam buku ini. Sudah 6 tahun lalu semenjak buku ini diterbitkan
dan diperdagangkan secara komersil, tetapi baru sekarang bisa membaca. Itupun
pinjaman heheh.
Sebenarnya karena Malang yang
sering hujan dan dingin membuatku tidak terlalu bersemangat membaca buku yang
materinya lumayan berat seperti buku ini. Tapi entah kenapa halaman pertama
buku ini mampu membuatku berusaha untuk membuka dan membaca tiap lembarannya.
Aku jadi teringat dengan seorang
ibu yang kupanggil dengan sebutan “mama” di rumah. Seorang perempuan yang mengandung,
melahirkan dan membesarkanku hingga sekarang. Dia menjadi manusia yang
benar-benar kukagumi di dunia ini selama aku hidup, kemudian diikuti oleh
Bapak. Walau aku dan mama sering beradu pendapat dan memperdebatkan banyak hal
di rumah, namun dia benar-benar titipan berharga dari Tuhan yang benar-benar
ingin kujaga kebahagiaannya.
Mamaku
adalah seorang yang sangat cerewet, over
dramatis, dan dramaqueen handal. Mungkin mamaku tidak berbeda dengan
tipe-tipe mama-mama kebanyakan lainnya bila dilihat dari sisi “kecerewetan-nya”.
Dia mampu mengoceh sepanjang waktu, sepanjang hari, tanpa buffering, tanpa jeda ataupun tanpa istirahat, bila melihat sesuatu
yang salah atau tidak sesuai dengan yang seharusnya.
Seperti misalnya
kalau aku lupa mengabari atau menanyakan kabarnya. Terkadang karena jauh, dan sibuk
kuliah (ya gak sibuk-sibuk amatlah), aku atau kamu (dimanapun kamu berada yang
menyandang status mahasiswa yang LDR dengan orang tuanya) bisa jadi lupa untuk
menanyakan kabar orang tua. Ya memang salah sih, toh paling lama 5-10 menit
bercengkaram dalam seharipun, kadang tidak sempat untuk kita lakukan. Kebiasaan
mematikan nada dering hp, dan lupa mengubah settingan-nya
ketika sudah sampai kost menjadikan panggilan dari si ibu menjadi 2-10 missed calls. Rasa takut dan panikpun
menghampiri. Tetapi kalau aku sih, biasa aja. Karena sudah biasa berdebat
dengannya, akupun jadi merasa I’m really
ok with this wkwkw Tetapi panggilan ke 11 akan berubah menjadi “kamu di rampok ya makanya hp kamu dari tadi
tidak bisa mama hubungi?” atau “kemana
aja sih sampai susah ngangkat telepon? Seujung rambutpun kamu tidak memiliki
rasa perhatian sama orang tua kamu ….” dan bla bla bla masih panjang lagi,
yang sekiranya bila ditulis di blog juga gak aka nada habisnya. Sengaja sih
ditambah sedikit bumbu drama, biar keliatan kalau aku memang salah besar. But that’s ok, namanya juga udah cinta.
Terus mau gimana lagi..
Karena aku adalah
anak perempuan sendiri dan perempuan lainnya yang bisa kutemukan di rumah
adalah mama, kita jadi sering cekcok.
So sorry for using this entah-dari-mana
words. Cekcok yang kumaksud adalah adu
mulut, berantem, bentak-bentakan sampai nangis bareng karena sudah lelah
berdebat wkwkw. Mungkin karena aku tidak punya teman perempuan di rumah. Aku
punya 3 abang yang ketika kecil mengajariku dengan instruksi ‘bagaimana menjadi
seorang laki-laki yang baik’. Kebiasaan ini membuatku nyaman dengan mereka,
sehingga aku jadi cenderung sering berbeda pendapat dengan mama. Dulu aku tidak
suka menggunakan rok, sementara mama selalu memaksaku untuk menggunakan rok
untuk pergi ke gereja. Sebahagian besar minggu pagiku diisi dengan adegan menangis
sejadi-jadinya karena dipaksa menggunakan rok. Aku selalu merasa tidak adil
bila menggunakan rok, karena ke 3 abangku kelihatan sangat ‘keren’ dengan
celana jeans panjangnya.
Tidak hanya
itu, aku merasa kalau keputusan apapun
yang akan terjadi atau yang akan kulakukan dalam hidupku selalu diambil alih sama
mama. Mulai dari baju yang akan kupakai, sepatu, gaya rambut, sekolah yang akan
kutuju, makanan, apapun. Aku selalu merasa bahwa mama terlalu over control dalam kehidupanku. Karena semuanya
sudah diatur sama mama, akupun jadi sering merasa bahwa pendapatku tidak layak
untuk dipertimbangkan. Terkadang kesal, marah dan bertingkah seperti anak kecil
yang bodoh. Lambat laun, beberapa kejadian membuatku tersadar, bahwa tidak ada
seorang ibu yang tidak menginginkan yang terbaik untuk anaknya.
Aku sangat
berbeda dengan mama bila dibandingkan dari sisi kepribadian/sifat. Mamaku tergolong
kedalam manusia yang lingkungan sosial, dan pergaulannya baik, ramah, memiliki
banyak teman, dan sangat periang. Berbeda dengan aku yang introvert dan tidak memiliki banyak teman. Mama yang memiliki suara
yang bagus, aku tidak. Aku yang bisa memainkan alat music, mama tidak. Mama
yang lebih memilih bermain bola Volly, tennis meja, bulu tangkis sementara aku
lebih ke olahraga renang. Mama yang bisa masak, aku tidak. Mama yang hiperaktif
dan aku tidak. Semuanya serba berbeda. Kesamaan kami suma satu, yaitu cengeng. At least there is still one thing, yang
menandakan bahwa aku adalah anaknya.
Kalau lagi di
rumah (liburan semester dari kampus), aku akan sangat betah tinggal di rumah
dan tidak kemana-mana, mengutak atik laptop, tidur, membaca novel, buku, makan
dsb. Hal tersebut selalu disambut mama dengan pertanyaan, “dek, teman-teman kamu dimana?”. Yang selalu kujawab dengan “memangnya aku pulang untuk bertemu dengan
mereka..” atau berbagai kalimat pembelaan diri lainnya.
Memang setelah
merantau kebiasaan untuk berdebat dengan mama sudah mulai berkurang. Sejak SMA
aku sudah tidak tinggal bersama mereka. Walau jarak tempat tinggalku ketika SMA
masih tergolong dekat, dan memungkinkan untuk pulang sekali dalam sebulan. Melanjut
kuliah, aku merantau lebih jauh lagi sehingga hanya bisa pulang sekali dalam
satu tahun. Kegiatan cekcok dengan mama juga semakin berkurang. Karena jauh,
kita jadi lebih sering rindu-rinduan, saling mengkhawatirkan tetapi tidak menutup
kemungkinan juga untuk berantem dari via telepon.
Pernah sekali,
tahun 2011 silam aku mencoba untuk melakukan sebuah hal manis untuk mama. 22
Desember lebih tepatnya yang bertepatan dengan hari ibu dan natal sie Perempuan
di gereja. Entah kenapa, aku tidak ingin pulang ke rumah dengan tangan hampa. Jiwa
introvert ini membuatku menjadi sedikit lebih melankolis. Akhirnya akupun memutuskan
untuk membeli sesuatu kepada mama. Walau hadiah tersebut berhasil merogoh
tabunganku selama setengah tahun. Hari itu mama tidak merayakan Natal bersama
kami karena sedang ada tugas ke luar kota. Dikabarin bahwa mama akan tiba di
rumah tengah malam, akupun ketiduran dan meninggalkan kado tersebut di tempat
tidurnya. Besok paginya, mama datang ke kamarku dan memeluk serta mengucapkan ‘selamat
natal’. Sebuah pagi, di hari natal yang tidak kami isi dengan suara teriakan
karena adu mulut hehehehe.
Waktupun
berlalu. Sekarang aku bukan lagi anak usia belasan yang masih sering memperdebatkan
banyak hal dengan mama. Sekarang sudah menjadi anak pra-dewasa yang berusia
kepala dua, menjadi lebih pendiam dan berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Waktu
yang dulu kugunakan untuk berdebat dengan mama sekarang kuisi dengan
merindukan, menyemangatinya, mendengar semua keluhannya. Apalagi sebentar lagi anak lelaki Sulungnya akan menikah, entah karena akan kehilangan bodyguard, atau berkurangnya rasa sayang dari anaknya, doi jadi semakin cengeng.
Dan aku, si bungsu yang masih sangat sibuk merencanakan masa depanku untuk membahagiakannya. Mungkin masih lama, kuharap mama sabar terus yaa :)
Dan aku, si bungsu yang masih sangat sibuk merencanakan masa depanku untuk membahagiakannya. Mungkin masih lama, kuharap mama sabar terus yaa :)
Sudah memasuki akhir tahun, dan
sebentar lagi akan natal.
Ma, Its almost
Christmas, But I’ve prepared nothing.
Komentar
Posting Komentar