Tentang BM : Kelas 1-5
Dari kemarin hingga hari ini aku memutuskan untuk membaca kembali Novel
Dilan. Dilanku tahun 1990, dan Dilanku tahun 1991 (part 2-nya). Karena terlalu
jatuh cinta dengan filmnya, membaca novelnya membuatku semakin bisa membayangkan
visualisasinya, dan kembali. Jatuh cinta. Ah, Dilan.
Novel ini membuatku teringat kembali dengan masa-masa SMA-ku dulu. Biar
kuberitahu, masa SMA-ku mungkin tidak semenarik bila dibandingkan dengan Milea.
Tapi tak kalah bahagia. Maka aku akan menceritakan hal-hal yang membuatku
bahagia saja ketika SMA.
Aku dulu bersekolah di salah satu SMA yayasan Katolik di kota
Pematangsiantar, tahun masuknya 2011. Salah satu SMA yang bonafit, bersih,
memiliki gedung yang bagus dan dipandang baik di Provinsiku. Katanya sih
begitu. Tidak percaya? Percayalah. Setidaknya lulusan dari SMAku berkata
demikian. Aku selalu merasa bahwa setiap orang yang kutemui semasa SMA-ku adalah
orang-orang hebat dan tidak terlupakan. Aku selalu beranggapan seperti itu.
Karena mereka memang orang hebat.
Sekolahku berjarak kurang lebih 4 jam perjalanan dari rumahku, maka itu
yang mengharuskanku untuk ngekost. Jadinya, malam pertama di kostan disponsori
oleh air mata yang tidak berhenti karena harus berpisah dengan Bapak dan Mama. Yang
membuat satu kost, memandangku penuh simpati. Entah kasihan, atau merasa iba.
Aku tidak peduli.
Tujuh hari pertama adalah Masa Orientasi Siswa baru di sekolah. Seminggu
penuh cobaan karena harus dikerjai dan dimarahi oleh Panitia MOS. Walau sampai
sekarang aku tidak bisa menemukan apa dampak “positif” dari kegiatan bentak-membentak
tersebut. Memberi batas untuk senioritas
mungkin iya. Tapi kala itu aku tidak peduli, dan tidak ada niat untuk melawan.
Yang kulakukan adalah mengikuti semua kegiatannya satu harian, mau kena marah
kek, mau essayku dirobek, dipijak dan
dibuang ke tong sampah kek, aku tidak peduli. Aku membiarkan mereka para Panita
ber-nametag itu melakukannya. Aku berusaha
untuk positif thinking, bahwa ini
adalah program dari sekolah jadi harus terlaksana. Aku benar-benar tidak ambil
pusing. Aku kembali ke kost dengan perasaan campur aduk karena rindu rumah dan
Boni. Boni adalah anjingku.
Berakhirnya MOS adalah masa untuk hidup normal sebagai siswa SMA. Aku
ditempatkan di kelas 1-5 yang wali kelasnya adalah ibu Nora Sigiro, lantai dua
dekat tangga sebelah kiri, diantara kelas 1-4 dan ruang BP. Yang tentangnya
mungkin akan banyak kuceritakan. Seragam putih abu, dan sepatu (bukan) hitam
yang kukenakan belum bisa beradaptasi secara penuh ditubuhku. Mengingat ketika
SMP aku mengenakan atribut lengkap seperti dasi, topi dan kaos kaki selutut. Di
SMA-ku budaya seperti itu tidak terlalu diterapkan. Mungkin karena swasta. Jadi lebih bebas. Lagian,
seragam tidak masalah. Malah menurutku itu keren.
Ya, begitulah setidaknya.
Yang akan kuceritakan pertama sekali adalah Lowis Onike Siahaan. Dia adalah sebangku pertamaku di SMA Budi Mulia
atau yang lebih sering kami sebut dengan BM (Akronim dari Budi Mulia), yang
sekarang kuliah dia Teknik Industri Universitas Diponegoro. Setelahnya secara
bertahap aku sebangku dengan Widya
Oppusunggu, Royto Sihaloho, Septrina Nainggolan, dan Benyamin Butar-butar. Eh bukan. Bukan sebangku. Tapi semeja. Kata Lowis,
kalau sebangku itu berarti duduk pangkuan di satu bangku. Jadi lebih baik
menyebutnya semeja. Satu meja, tapi berbeda bangku. He he he .
Lowis adalah orang asing pertama yang berhasil mengajakku berkenalan.
Mengingat aku adalah manusia yang introvert dan tidak mudah berkenalan dengan
orang baru, Lowis berhasil meruntuhkan benteng itu. Rambutnya lurus alami seperti
baru disetrika, tubuhnya sepertiku, kecil. Dan suaranya.. tegas, kuat dan agak
sedikit ‘tinggi’. Mungkin nada dasar suaranya ada di G, atau setiap sel di dalam tubuhnya mengandung soundsystem makanya suaranya bisa kuat begitu.
Lowis adalah orang yang baik, supel, ramah dan periang. Dia menyukai
puisi dan hal-hal yang menyentuh hati. Sama sepertiku. Hampir semua manusia di
1-5 menjadi temannya. Mungkin bukan hanya di 1-5, tapi keseluruh sekolahan.
Dari kelas satu, dua dan tiga, hingga satpam, bapak penjual tela-tela di
depan gerbang sekolah, serta ibu kantin penjual gorengan dan saus merahnya.
Perkenalan pertama kami cukup lucu. Bagiku sih lucu. Aku yang sedang bingung
karena memasuki sebuah kelas yang awalnya tidak kukenal siapa-siapa didalamnya, memilih bangku ke 3 dari belakang. Walau setelahnya aku sadar kalau salah
seorang dari mereka, yakni Elija Adriana
Sinaga adalah teman satu kostanku. Bangku itu masih kosong, belum ada
pengisinya. Maka akupun duduk dan meletakkan tasku di bangku barisan sebelah
kanan meja, karena meja tersebut diisi untuk dua orang. Kemudian seorang siswi
bersepatu merah meletakkan tasnya dengan kuat diatas meja, dan berkata, “Boleh duduk disini gak?” dengan suara
sedikit marah atau nyenggak aku tidak mengerti. Karena masih merasa shock, aku hanya menganggukkan kepalaku.
Kemudian dia duduk disampingku dan mengulurkan tangannya. “Namaku, Lowis”. Uluran pertama dan hangat yang kuterima hari itu.
Hari-hariku kemudian terisi dengan bercerita dan berbicara banyak hal dengan
Lowis. Karena dia adalah orang yang baik, ramah, jadi siapa saja bisa dengan
cepat berteman dengannya. Hingga sekarang. Kebiasaan itu masih kami lakukan
kalau kami sama-sama lagi butuh teman cerita. Ada saja yang membuat kami untuk
berkomunikasi. Saling mengirimi hadiah kalau ulang tahun. Bercerita lucu dan
mentertawakan seseorang, walau itu tidak baik. Tapi kami bahagia.
Kelas 2 kami tidak dipertemukan dikelas yang sama. Aku masuk di kelas 2
IPA 3 dan dia 2 IPA 2. Walau kelasnya bersampingan, tapi pertemuan kami sangat
jarang. Mengingat sekolahku tidak melakukan semacam budaya untuk apel pagi.
Jadi kami masuk pukul 07:45 dan pulang pukul 14:00. Berbeda untuk hari selasa
dan jumat, yang sudah harus disekolah pukul 07:15 karena harus senam pagi.
Senam poco-poco. Namun kelas 3, aku kembali dipertemukan dengan Lowis di kelas
3 IPA 3. Yang membuatku menutup masa SMA dengan menjadikan Lowis teman sebangku
terakhir sebelum lulus. Bukan sebangku. Tapi semeja.
Orang kedua yang menghiasi masa kelas satuku adalah Elija Adriana Sinaga. Manusia yang tidak kusadari ternyata sekelas
denganku, dan dia adalah satu kostku. Aku tidak menyadarinya. Aku sibuk dengan
perasaanku yang selalu rindu rumah, sehingga tidak tau. Hingga aku merasa
melihat wajah yang mirip di kelas dan di kost. Ternyata aku salah. Bukan
wajahnya yang mirip, tapi manusianya memang sama.
Elija memiliki rambut yang sama dengan Lowis. Lurus alami seperti habis
disetrika. Entahlah. Mungkin mereka saudaraan. Elija memiliki mata yang sipit
seperti orang cina. Dia sering mengaku bahwa dia adalah orang Cina, melalui
plesetan marganya. Cina-ga.
Elija orangnya sangat lucu. Dia selalu merasa bukan anak kandung dari ibunya, padahal sudah jelas-jelas kelihatan wajah mereka itu mirip satu keturunan. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. ‘Frontal’ dalam arti positif, cuek, dan sangat suka dengan Agnes Jessica dan Esti Kinasih. Dua penulis Novel yang selalu kami buru novelnya di sebuah tempat peminjaman buku daerah Parluasan. Kami lebih rela menghabiskan uang kami untuk meminjam buku, komik dan Novel daripada membelikannya untuk yang lain. Tidak apa-apa. Yang penting bahagia. Sejenak melupakan koku (tugas) yang tiada henti, dan ulangan harian yang benar-benar dilaksanakan harian. Setiap hari. Dia cukup menghiburku melewati masa naik-turunku selama kelas satu. Menghentikan tangisku dan membuatku tertawa. Tapi aku tidak mau mengucapkan terimakasih. Aku tidak mau mengucapkan hal-hal manis padanya. Katanya dia takut, dia takut esoknya aku akan mati ha ha ha. Jadi lebih baik tidak diungkapkan.
Elija orangnya sangat lucu. Dia selalu merasa bukan anak kandung dari ibunya, padahal sudah jelas-jelas kelihatan wajah mereka itu mirip satu keturunan. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. ‘Frontal’ dalam arti positif, cuek, dan sangat suka dengan Agnes Jessica dan Esti Kinasih. Dua penulis Novel yang selalu kami buru novelnya di sebuah tempat peminjaman buku daerah Parluasan. Kami lebih rela menghabiskan uang kami untuk meminjam buku, komik dan Novel daripada membelikannya untuk yang lain. Tidak apa-apa. Yang penting bahagia. Sejenak melupakan koku (tugas) yang tiada henti, dan ulangan harian yang benar-benar dilaksanakan harian. Setiap hari. Dia cukup menghiburku melewati masa naik-turunku selama kelas satu. Menghentikan tangisku dan membuatku tertawa. Tapi aku tidak mau mengucapkan terimakasih. Aku tidak mau mengucapkan hal-hal manis padanya. Katanya dia takut, dia takut esoknya aku akan mati ha ha ha. Jadi lebih baik tidak diungkapkan.
Sampai sekarang aku masih menjalin hubungan yang baik dengannya. Walau
komunikasi kami jarang, kami tidak saling melupakan tanggal ulang tahun
masing-masing. Berkomunikasi untuk saling meledek dan mengejek. Tidak apa-apa,
mungkin begitu caranya mengekspresikan rindunya. Dia adalah alumni dari Vokasi
Universitas Indonesia. Sekarang sudah jadi PNS, dan sedang prajabatan. Makanya dia
sibuk.
Ah iya, tentang 1-5. Satu Lima adalah kelas yang menyenangkan, walau
orang-orang tidak terlalu memandangnya demikian. Tapi kami tahu. Kami
memberinya nama Avogadro. Nama itu tertera di baju Kelas kami. Kaos oblong
berwarna merah, dengan bagian kerah yang berwarna hitam dan dibelakangnya
tertera nama kami semua yang berjumlah 48 orang. Kami menuliskan nama keren
kami. Karena pada jaman itu, nama keren sangatlah perlu. Maka aku menuliskan “Jean
Tamboenan”, plesetan dari Jean Tambunan (oe dibaca u). Avogadro diambil dari
salah satu bagian pelajaran Kimia, yaitu bilangan Avogadro. Kenapa kimia? Karena
ibu Nora adalah guru kimia. Satu-satunya guru yang cantik, dan manisnya
kebangetan kalau tidak marah. Aku tidak bohong. Tanya saja pada teman-temanku.
Semua laki-laki akan menjawab “iya”.
Manusia didalamnya sangat unik dan beragam. Ada yang sangat rajin seperti
Wulan Ferina Tamba. Pernah sekali
kami sekelas disuruh untuk keliling lapangan basket ditengah jam 12 siang yang
sangat terik karena lupa untuk mengerjakan tugas Biologi. Mungkin pada saat diberikan tugas, kami tidak mendengarkan guru. Semua dihukum,
kecuali Wulan. Karena hanya Wulan yang mengingat ada tugas, hanya Wulan yang
mengerjakan, maka hanya Wulan yang tidak dihukum. Ya, begitulah.
Manusianya beragam, dan unik. Walau pada hakekatnya manusia memang seperti itu, tapi di 1-5 rasanya beda. Ada yang sangat pandai bermain gitar, seperti Yusuf. Ada yang pintar dalam akademik, seperti
Venny. Ada yang belagu dan ingin kutoyor kepalanya setiap dia berbicara,
namanya Benyamin. Dia pernah menjadi sebangkuku, pemalas, tengil, banyak ngomong, tapi ganteng. Orang ganteng mah bebas. Ada yang namanya lucu dan unik, yakni Syalom. Syalom adalah mantan pacar Lowis. Maka kerap sekali dia menjadi topik pembicaraanku dengan dia. Ada yang model,
ada yang anak geng motor, ada yang pandai bernyanyi. Kalau aku jangan ditanyalah. Ada yang lucu, gembul dan bermata sipit, namanya Arga. Febi Luana yang selalu membawa minum sebesar dispenser. Enggak deh, bercanda. Tapi memang besar kok, sepertinya sanggup untuk diminum satu kelas. Masih
banyak. Dan mereka adalah orang-orang hebat yang pernah kutemui. Aku jamin.
.
.
Sebenarnya banyak sekali
yang ingin kuceritakan. Tapi akan kusambung di part yang selanjutnya. Sekarang
sudah pukul 01:44 dini hari di Malang. Besok pagi aku mau belanja sayur. Jadi nostalgianya
kusambung nanti lagi ya..
Tulisan yang menghanyutkan apalagi dibaca saat hujan. Tapi saya akan mengomentari beberapa hal.
BalasHapus1. Mengenai rambut yang seperti baru disetrika, saya rasa harusnya dituliskan "Rambut lurus alami seperti baru disetrika dengan setrika Philips". Karena beberapa merk lainnya tidak memberi hasil semaksimal itu. Saya tak ingin orang salah paham.
2. Anda salah menyebut nada dasar suara Lowis, bukan G tapi A.
3. Perihal sel di dalam tubuh yang mengandung soundystem, Anda berlebihan. Sesungguhnya hanyalah toa masjid.
4. Apa benar penjual tela tela di depan sekolah adalah seorang bapak bapak? Saya rasa tidak. Oh maaf mungkin Anda tidak tahu, tidak pernah jajan, biasa anak kos kere:)
5. Saat Anda menyebut Lowis sepatu merah. Saya rasa sepatu itu perpaduan beberapa warna, di antaranya putih, abu abu kebiruan dan tali sepatu yg merah. Karena sesungguhnya sepatu merah adalah milik Rinaldo.
6. Jam pulang sekolah seingat otak saya yg jarang salah ialah pukul 13.30. Atau Anda piket setiap hari sehingga pulang jam 14.00? Tapi kalaupun iya, saya rasa itu hanya butuh waktu 10 menit, tidak 30 menit.
7. Tentang bel masuk di hari Selasa dan Jumat sebelum senam pagi, kalau tidak keliru dan sepertinya memang tidak, bel berbunyi pukul 07.20. Lain hal bila jam tangan Anda dimundurkan 5 menit.
8. Saya rasa tidak ada yang lucu dari nama teman sekelas Anda di 1-5 yang Anda sebutkan di atas. Kecuali jika Anda tambahkan nama tengahnya. Maka saya amat setuju.
Demikian sedikit komentar yang bisa saya berikan. Nanti apabila saya temukan lagi cela untuk julid, maka akan saya perbaharui. Terima kasih.
Terimakasih untuk komentar yang sangat membangun ibu Lowis. Kedepannya akan saya perbaiki agar lebih maki-able.
Hapus������
BalasHapus