Being a Jakartan.


Aku selalu merasa kalau orang yang bekerja disebuah kota besar merupakan hal yang sangat keren. Keren karena menurutku mereka adalah orang yang produktif, loyal pada pekerjaannya dan visioner. Sebut saja pekerjaannya itu berada disebuah company yang memiliki track record baik di khalayak luas. Bekerja kantoran, pengusaha, atau yang harus keluar ketemu client/nasabah, seharian. Dan misalkan kota besar itu adalah Jakarta. Pergi bersama matahari, pulang-pulang mungkin matahari sudah tidak kelihatan lagi. Belum jarak rumah ke kantor yang tidak terbilang dekat. Macet dan lama diperjalanan memakan waktu yang panjang. Menjadi seseorang yang tinggal di Jakarta membuat waktu 24 jam dalam sehari, rasanya (sangat) tidak cukup. And I've meet these type of people who fight and stand for their life, everyday.

Dulu aku selalu mengeluh jika menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasi yang kuharapkan. Tidak jadi S2, mengeluh, dan marah. Jadwal wisuda yang keluarnya lama, mengeluh. Berbeda pendapat dengan orangtua, mengeluh. Bahkan hal kecil seperti wifi kost yang macet pasti aku mengeluh seharian. Seperti tidak ada hal lain yang lebih bermanfaat yang bisa dilakukan selain mengeluh. Dan disini, aku dihadapkan dengan banyak hal yang benar-benar membuatku merasa ciut dengan diriku yang dulu. Aku bertemu dengan orang yang harus PP Jakarta Bogor setiap hari. Mungkin dia akan naik kereta pertama dari Bogor, dan pulang dengan kereta terakhir. Dilakukan setiap hari Senin hingga Sabtu. Setiap hari ada ujian evaluasi yang harus diikuti, tidur larut, bangun subuh dan belajar di KRL. Sekalipun aku tidak pernah melihatnya mengeluh. Ya mungkin beberapa kali dia mengeluh. Tapi tidak diperlihatkan ke orang lain. Setidaknya dia profesional dengan keputusan yang sedang diambilnya.

Yang kedua, aku bertemu dengan Pak Sis, seseorang yang berprofesi sebagai OB. Mungkin dia sudah seusia bapak di rumah. Dia selalu menjadi orang pertama yang kutemui di kantor. Padahal aku selalu merasa menjadi orang paling cepat yang tiba, ya sekitar pukul setengah 8 pagi. Tapi ternyata tidak. Masuk ruangan, semua sudah beres. Gelas, air panas untuk kopi, ruangan, dan semuanya sudah bersih. Mengantarkan coffe break, setiap pukul 10 pagi dan jam 3 sore. Makan siang pukul 12. Dari lantai 1 ke lantai 4. Aku gabisa bayangin Beliau tiba jam berapa di kantor. Pekerjaan berat? tentu saja. Apakah beliau pernah mengeluh? aku yakin, pasti pernah. Tapi aku tidak pernah melihatnya demikian. 

Jakarta memberiku banyak sekali pelajaran. Tentang kesempatan yang mungkin tidak semua orang mendapatkan, bekerja, tantangan memanfaatkan peluang, menjadi tangguh dan berjuang. Beberapa kejadian membuatku harus sadar, bahwa ketika ingin mendapatkan sesuatu yang kamu dambakan, kamu tidak bisa hanya menunggu, minimal kamu harus melakukan sesuatu untuk mendapatkannya. Bukan malah diam saja, dan berharap semua akan baik-baik saja. Sesuai dengan yang kamu inginkan. Katanya, seorang pelaut yang tangguh dibentuk oleh laut dan badai yang besar.

Dan aku, atau kamu, atau siapapun diluar sana yang mungkin masih berkecukupan dalam apapun dan hidup nyaman, masih mengeluh karena wifi, atau menyalahkan instagram karena merasa memberi toksik. Why does some one has to complain about their life? Why does life has to be so conventional? No body said it has to be. iya kan?


Komentar

Postingan Populer