Pekanbaru I’m not ready (yet)



Soekarno Hatta Internasional Airport – Tangerang, 9 Juli 2017 09:40 AM
I leave Jakarta…



And ready flight to Sultan Syarif Kasim II Internasional Airport - Pekanbaru 11:25 AM






Semua cerita berawal dari sini. Kali pertama aku berada di sebuah kota di bagian barat daya Pulau Sumatera. Kota Panas yang terkenal dengan kekayaan minyaknya baik dari bawah ataupun dari permukaan tanahnya. Pekanbaru

I heard lot of things about this city, dimulai dari Kebun Kelapa Sawitnya yang luas dan berada di sepanjang jalan, udaranya yang panas menyengat, sampai jalanannya yang besar dan lebar karena merupakan bagian dari jalan lintas provinsi. Kali pertama, juga bukan untuk berlibur. Melainkan untuk tujuan kerja Magang.

Lokasi kerja Magang ini berada di daerah Libo, Kandis – Kabupaten Siak. PT. SMART Research Institute (SMARTRI) Tbk, salah satu pusat penelitian Kelapa Sawit terbesar di Indonesia. Masih harus menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam dari Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau. 

Semuanya masih terasa begitu cepat dan tidak terduga. Pasalnya, saya masih sangat terkagum akan diri saya sendiri (wow hehe) karena bisa tiba di kota ini dengan keadaan sehat walafiat dan tidak kekurangan sesuatu apapun(*tsah). Semua ekspektasi saya tentang kota Pekanbaru yang panas dan membosankan hilang ketika mulai memasuki daerah Kandis yang sangat menghangatkan mata. Hamparan Kelapa Sawit yang luas nan hijau, langit sorenya yang berwarna jingga, dan jalan lintas provinsi yang lebar, mulus dan (seolah) tak berujung. 

Namun, menjelang malam, memasuki daerah Perkebunan, ekspektasi saya yang melambung tinggi pun kian surut karena sudah mulai memasuki jalanan bebatuan tak beraspal, sempit, dan tidak berlampu. Menyusuri gang kecil, hunian rumah yang jarang melahirkan kesan angker. Malam itu saya mulai berandai kalau saya sedang berada di dalam Hunger Games. Wkekekek

Akhirnya setelah penantian panjang yang diawali dengan shock batin melihat kondisi mess (sebagai rumah untuk 3 bulan kedepan) yang kosong melompong, aku tiba di tujuan yang diimpikan dengan tragedy yang amat menyiksa kalbu.

Sempat merasa tidak akan sanggup dan menangis untuk hal yang secara bulat-bulat serta sadar adalah pilihanku. 

Daerah terpencil yang kemana-mana juga sangat jauh. Ketersediaan pangan, papan dan segala kebutuhan yang terbatas. Kebutuhan air bersih yang dibatasi per keluarga, harga barang yang cenderung lebih tinggi, daerah yang jauh dari mana-mana, sehingga kota terdekat hanya bisa ditempuh dengan perjalanan paling cepat 30 menit menggunakan kendaraan roda 2. Mungkin sebenarnya bisa lebih cepat, kalau kondisi jalannya bagus dan mulus.  Setelah membenahi banyak sekali kebutuhan yang harus dilengkapi, tepat pukul 23:30, akhirnya tiba waktu untuk beristirahat karena besok adalah hari pertama kerja.

Malam menjelang, cukup sejuk untuk  penyesuaian di kota ini. Malam yang sunyi, meredam suara tangis yang seolah tidak terima dengan keadaan. Tidur yang nyenyak beralaskan karpet baru yang tidak cukup luas untuk ditempati 3 orang.Tidak (berani) mandi karena belum beradaptasi dengan airnya. Malam yang indah setelah seharian menghabiskan tenaga berpeluh keringat dengan suara jangkrik dimana-mana, malam yang indah, banyak bintangnya.  

Selamat Malam, Libo. Ternyata aku belum siap.

Komentar

Postingan Populer