The Greatest Showman (Review)



            Let me tell you the review of “The Greatest Showman” movie. The Greatest Showman adalah  salah satu film yang (sangat) direkomendasikan untuk di tonton. Tidak terlalu “musical” seperti La La Land. Sederhana, alurnya menarik, dan mampu mencampuradukkan perasaan yang menonton. Oke itu mungkin terlalu berlebihan, but trust me. I really mean it.
            Film ini diadaptasi dari kisah nyata yang menceritakan tentang seorang yang bernama Phineas Taylor Barnum. Barnum adalah orang Amerika yang pertama sekali menjadikan seni menjadi sebuah ‘bisnis’ pada tahun 1840-an. Barnum terlahir disebuah keluarga yang sederhana, namun kaya akan mimpi.  Dengan berprofesi sebagai seorang penjahit, ayahnya berusaha untuk menghidupinya dengan penghasilan yang pas-pasan. Suatu hari ketika hendak membantu ayahnya bekerja disalah satu rumah langganannya, dia bertemu dengan Charity. Perempuan yang dicintainya untuk pertama sekali dan dimintanya untuk menikah dengannya.
            Setelah ayahnya meninggal, Barnum hidup dengan tidak terartur. Charity yang disekolahkan oleh orangtuanya di sebuah sekolah asrama membuat mereka sulit untuk bertemu. Tidak ingin membiarkan mimpi dan segala rencana masa depan hilang begitu saja, Barnum mencari  pekerjaan dan menjadi buruh disalah satu kapal Amerika dengan upah yang tidak terhitung banyak.
            Bertahun-tahun setelah merasa cukup dan berhasil meyakinkan orangtua Charity, Barnum menikahinya dengan segala kesederhanaan yang dia punya. Mereka pindah dan hidup di kota. Barnum bekerja  di salah satu perusahaan dagang Kapal yang kemudian harus berhenti karena perusahaan tersebut bangkrut. Charity yang berasal dari kalangan atas memacu Barnum untuk menjadi sukses dalam hidupnya dan tidak dipandang sebelah mata oleh orang di sekelilingnya, terutama orangtua Charity yang selalu menganggap kalau Barnum tidak akan mampu menghidupi putrinya.
Tidak ingin membiarkan hidupnya berhenti, Barnum kemudian menjaminkan surat kepemilikan kapal dagang milik Perusahaannya ke bank, menjadi jaminan, untuk mendapatkan sejumlah uang yang akan digunakannya sebagai modal memulai bisnis baru. Barnum mendapatkan uang, yang kemudian dipakai untuk membeli sebuah museum di pusat kota. Museum Kuno yang sudah tidak digunakan lagi oleh pemiliknya. Barnum menyukai tata ruang dari Museum tersebut. Dia merasa bahwa sesuatu yang ‘hebat’ akan terlahir dari tempat kuno yang tidak berguna itu. Museum tersebut berisi banyak sekali benda-benda aneh tapi tidak menarik karena semuanya adalah benda mati.
Berusaha untuk menjadikan tempat tersebut menjadi lebih hidup dan mendapat ide dari putrinya, Barnum kemudian berkeliling kota mencari orang-orang “unik” yang akan dia tampilkan di museum itu. Barnum mendapatkan banyak sekali orang-orang unik yang mendatanginya dan menunjukkan bakat yang mereka punya kepadanya. Dari seorang wanita gendut berjenggot dan memiliki suara yang indah bernama Lettie Lutz, manusia kerdil keras kepala yang bercita-cita sebagai seorang Jenderal bernama Charles Stratton, dua orang bersaudara Afrika-America yang sangat hebat dalam akrobat tali, Anne dan WD Wheeler, manusia Irlandia yang memiliki berat badan 350 kg, hingga manusia yang memiliki tinggi lebih dari 3m, semuanya tampil di museum itu membawa bakat dan kemampuannya masing-masing. Kritikus pada jaman itu menyebutnya dengan istilah "Celebration of Humanitiy" 


Tak disangka, pertunjukan orang-orang “unik” ala Barnum itu mendapatkan perhatian dan sekaligus kritikan dari masyarakat. Pertunjukan mereka selalu penuh dikunjungi orang yang menghasilkan banyak sekali keuntungan. Namun, seorang jurnalis dari New York Herald, James Gordon Bennett selalu mengkritik mereka dan memberi berita-berita negatif. 
Barnum kemudian berkenalan dengan Phillip Carlyle (Zac Efron), seorang penulis drama dan memiliki banyak warisan dari kekayaan keluarganya. Barnum tertarik mengajak Phillip karena melihat pertunjukannya yang selalu dihadiri orang-orang dari kalangan atas termasuk golongan kerajaan dan politikus terkenal dari Eropa hingga Amerika. Sangat berbeda dengan pertunjukan Barnum yang lebih menarik bagi kalangan bawah. Philip membuatnya berkenalan dengan seorang penyanyi yang terkenal di Eropa bernama Jenny Lind saat berada di London untuk bertemu Ratu Victoria.
Kemasyuran yang dimiliki Barnum pada dua Benua besar itu membuatnya terlena. Merasa sangat puas dengan kemampuan Jenny Lind yang mampu memberikannya keuntungan yang sangat besar membuatnya melupakan orang-orang “unik” yang sudah di bentuknya bertahun-tahun lalu. Hingga sebuah kemalangan menimpanya dan membuatnya kehilangan museum akibat kebakaran yang disengaja oleh masyarakat sekitar yang tidak menyukai pertunjukannya.
Film ini berakhir dengan bahagia, seperti mimpi Barnum yang tidak pernah padam. Film ini akan membuat siapapun bahagia dengan lagu-lagu yang ditampilkan.  Banyak sekali nilai-nilai berharga yang dapat dikutip dari setiap adegan dan karakter yang dihasilkan.
Film ini mengajarkan kita untuk tidak pernah menyerah akan mimpi. Segila, seaneh, apapun mimpi yang akan kita raih. Dengan usaha dan tanggungjawab, semuanya akan berbuah dengan baik.
“They can say, they can say it all sounds crazy
They can say, they can say we've lost our minds
I don't care, I don't care if they call us crazy
Runaway to a world that we design

Mengajarkan kita untuk lebih mencintai diri sendiri. Setiap orang terlahir baik, istimewa, terlepas dari kekurangan masing-masing. Everybody is unic, and wellborn

“When the sharpest words wanna cut me down
Gonna send a flood, gonna drown them out
I am brave, I am bruised
I am who I'm meant to be, this is me

Everyone is wellborn. Everyone is equal, everyone is the same and we should treat them as such. No child left behind and thats all that matterSetiap adegan dalam film ini  didesain agar setiap orang mampu memaknai bahwa mereka harus bangga akan diri mereka sendiri. Karena kalau bukan kita yang menghargai dan bangga akan  kita sendiri.. siapa lagi? 😊


Komentar

Postingan Populer